![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjhOD7xjxzCKXJs_OvSTB44nN0pSDFT5geXtR1YpqfFazahUhmSIDKlMvQt0LtUkyuVZRAHiU9RMUiRUhb1uTJ9EiAGJLyi_NZE7hfhnC5PlZ5yZVKo04cx_TnviK3W7-8GH0R9Lz6kXWQ/s320/cubit-image.jpg)
Teman - teman semua saya akan menganalogikan kata "Cubitlah Tangan Sendiri". coba kita sama- sama renungi, ada seorang siswi tidak bisa mengikuti UN karena dia hamil, dia dilarang oleh Kepala Sekolahnya untuk mengikuti UN lantaran sudah berbadan dua. Kalau kita menilik ke UUD seluruh warga Negara berhak atas Pendidikan. Disitu tidak ada kata tertera bahwa siswi hamil tidak berhak atas pendidikan. Lalu mengapa siswi tersebut di larang mengikuti UN, Pernahkah Kepala Sekolah itu tadi berpikir bagaimana jika kejadian tersebut menimpa anaknya. apakah dia akan melarang dan membiarkan anaknya putus sekolah. Tidak mau bukan ? Seharusnya siswi tersebut di fasilitasi misalnya dia melaksanakan UN dirumah. Jika kita mau berpikir tak ada wanita yag mau seperti demikian sebelum adanya ikatan suci,. Semua itu terjadi karena salah memilih pergaulan. Bila kita biarkan tidak mengikuti UN kemudian dia putus sekolah bukan malah mendapatkan seorang suami malah menjadi pelacur siapa yang salah. Tanggung jawab sebagai guru yang baik bukan mencari gaji dan sertifikasi tapi memperbaiki moral siswa dan siswi yang dididiknya.